Senin, 28 Maret 2011

RAGAM BENTUK WANITA “NAKAL”


RAGAM BENTUK WANITA “NAKAL”
oleh: Apriyanti Rahmawati, S.Pd

Bahasa bersifat dinamis kerena bahasa melekat erat pada budaya dan budaya melekat pada manusia dan manusia bersifat dinamis. Sehingga, sesuai dengan pendapat bahwa bahasa itu bersifat dinamis dan terus berkembang, dalam ilmu semantik kita mengenal teori Rolland Barthes ‘Meta Bahasa’ mengenai kemungkinan bahasa itu berkembang kearah bentuk dan berkembang kearah makna. Dalam esai ini saya mencoba membahas kemungkinan bahasa berkembang kearah bentuk.
Di masyarakat kita sering menemukan banyak sekali kata-kata, singkatan atau akronim yang mengacu pada makna yang sama. Seperti makna ‘penjual diri’ banyak sekali istilah-istilahnya yang beredar di masyarakat ‘PSK’, ‘pelacur’, ‘watunas’, ‘WTS’, ‘hoster’, dll.
Seiring dengan zaman yang kian berkembang. Bisnis prostitusi pun kian menjamur dan dampak dari itu juga melahirkan istilah-istilah baru bagi yang menjajakannya. Contohnya seperti ’PSK’, singkatan ini beberapa tahun terakhir telah menjadi bagian dalam bahasa baku bahasa Indonesia. Kependekan dari ’Pekerja Seks Komersial’, yang maknanya lebih mengacu pada seseorang yang melakukan perbuatan zina atau hubungan seksual dengan imbalan, baik berupa uang ataupun lainnya.
Dalam hal ini, kita juga mengenal istilah pelacur yang maknanya mengacu pada orang yang melakukan tindakan seksual demi uang atau kebendaan (materi), sedangkan dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) (2003: 623) pelacur berarti perempuan yang melacur; wanita tunasusila; sundal. Turunan dari kata ‘lacur’ yang artinya buruk laku. Istilah pelacur juga mengalami polisemi sehingga dapat dipakai untuk orang-orang yang menyalahgunakan apapun untuk mendapatkan apa yang diinginkannya, misalnya: Pelacur agama, pelacur intelektual, pelacur hukum dan sebagainya.
Dari masa ke masa istilah ‘penjual diri’ ini mengalami perubahan bentuk. Beberapa istilah yang saya temukan dari hasil membaca dan pengamatan di masyarakat, antara lain:
‘Watunas’ adalah kependekan dari ‘wanita tunasusila’. Istilah ini popular di tahun 1970-an.
‘Hostes’ berasal dari kata Hostess dalam bahasa Belanda yang makna aslinya adalah tuan rumah wanita. Dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) (2003: 408), wanita yang pekerjaannya menerima, menjamu, dan menghibur tamu (di hotel, kelab malam, bar, dsb):pramuria. KBBI mendefinisikan kata hostes hanya sebatas penjamu atau menghibur tamu tidak ke arah prostitusi. Akan tetapi, dalam penggunaannya di masyarakat kata ini mengalami perubahan makna menjadi serupa dengan pelacur.
‘WTS’ adalah versi lebih pendek dari ‘watunas’, mulai muncul pada tahun 1980-an, dan sekarang penggunaannya mulai jarang karena tergeser oleh PSK.

Kata PSK alias Pekerja Seks Komersial ini adalah upaya penghalusan (eufemisme) dari kata-kata, singkatan atau akronim lain yang dianggap terlalu vulgar. Namun, seiring berkembangnya bahasa. Gelar bahasa halus dari pelacur pada PSK pun nampaknya akan berubah karena eufemisme akan selalu berubah seiring dengan berubahnya bahasa ke arah bentuk. Lama-kelamaan eufemisme PSK pun tak cukup lembut lagi, dan eufemisme lain pun akan ditemukan sehingga memperoleh tambahan sinonim atau kemungkinan bentuk lain dalam variasi.
Bentuk lain dari istilah ‘penjual diri’ yang lazim dipakai hanya dalam percakapan sehari-hari atau slang, karena terkesan kasar jika dipakai dalam bahasa resmi, yakni:
Dongdot (popular di daerah Jawa Barat sebelah utara), gundik, bondon, wadon (populer di daerah pantura), kupu-kupu malam (mungkin karena sering mangkal di malam hari), sundal, wanita P (wanita panggilan), gadis order, wanita malam, lonthe (popular di daerah Jawa Timur), bispak (akronim dari bisa dipakai), perek (akronim dari perempuan eksperimen), ayam kampus (mahasiswa yang berprofesi sebagai pelacur), ayam abu-abu (anak SMA yang berprofesi sebagai pelacur), pe’cun (pelacur remaja yang kadang rela tidak dibayar jika saling suka), dan sekarang ini pun di masyarakat sedang popular dengan istilah jablaí (akronim dari jarang dibelai atau janda butuh belaian) diambil dari judul sebuah lagu yang dipopulerkan oleh Titi Kamal dalam film Mendadak Dangdut. Istilah lain yang yang muncul di kalangan atas (kaum eksekutif) yaitu Ladies Escort, Ladies Night, Callgirls, dan Escort Service, gadis-gadis Burespang (gadis-gadis bubaran restoran Jepang), Buresko (gadis-gadis bubaran restoran Korea), Burescin (gadis-gadis bubaran restoran Cina). Tiga istilah terakhir merupakan istilah untuk para gadis-gadis pramusaji dari restoran-restoran Jepang, Korea, dan Cina yang setelah usai kerja masih nyambi kerja ’badaniah’ lainnya.
Bukan hanya istrilah-istilah bagi pelacur wanita saja yang memiliki ragam bentuk akan tetapi istilah-istilah bagi pelacur laki-laki pun sekarang mempunyai ragam bentuk. Dulu istilah bagi pelacur laki-laki kerap dipanggil gigoló. Akan tetapi, perkembangan istilah di kalangan pelacur laki-laki pun sepertinya mulai banyak walaupun tidak sebanyak seperti istilah bagi pelacur wanita, antara lain: Kucing, brondong, bronis (akronim dari brondong manis) dan lain-lain.
Beberapa tahun lagi pastilah istilah-istilah ini akan berubah entah apa bentuknya. Mari kita lihat saja nanti karena bahasa akan terus berkembang selama bahasa itu masih digunakan oleh masyarakat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar